Jumat, 13 Juni 2014

Menanam dan Memetik

   Bicara soal buah-buahan kita tidak tahu siapa yang menanam dan siapa yang memetik. Yang kita tahu hanya menikmati hasilnya saja. Apakah pernah terfikir oleh kita ketika memakan buah yang sedang kita makan itu dari mana asalnya dan siapa yang menanamnya dan siapa pula yang memetik buahnya lalu buah tersebut sampai di pasar tradisional maupun pasar modern. Tapi kebanyakan orang bilang buah yang kita makan itu buah impor, apakah di negeri ini sudah habis petaninya atau kurang subur tanahnya sehingga buah-buahan itu orang luar negeri yang menanam dan memetiknya pula.
            Bicara mengenai menanam kita dapat menganalogikan kepada sebuah niat seseorang. Apabila kita berada masih berada di sekolah atau di perguruan tinggi maka akan ada ujian atau ulangan diakhir pembelajaran biasa disebut uas tapi yang paling berkesan adalah Ujian Nasional bagi yang masih sekolah dan Skripsi bagi yang kuliah. Dari tiap ujian yang kita inginkan adalah kelulusan, oleh karena itu kita perlu menanamkan niat untuk belajar, usaha, dan berdo’a agar mendapat buah yang manis, ialah buah kelulusan.
             Tanaman akan cepat tumbuh diatas tanah yang subur. Manusia kan dari tanah dan kembali ke tanah. Bagaimana membuat “tanah” ini menjadi subur agar pohon yang ditanam itu cepat berbuah. Untuk menjaga kesuburannya maka jagalah keseshatan kita baik jasmani maupun rohani. Dalam bahasa latin Indonesia yaitu Mens sana in corpore sano, yang artinya adalah "Jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat." Maksudnya jika jiwa seseorang sehat, maka tubuhnya akan sehat juga. Begitu pula sebaliknya.
           Dengan tubuh yang sehat, seseorang pun dapat belajar dengan semangat. Proses belajar adalah perjalanan memperoleh pengetahuan. Ada sebuah cerita, bertanyalah seorang yang awam kepada ahli filsafat yang arif bijaksana, “coba sebutkan kepada saya berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!”
Filsuf itu menarik nafas panjang dan berpantun:
                Ada orang yang tahu di tahunya
                Ada orang yang tahu di tidaktahunya
                Ada orang yang tidak tahu di tahunya
                Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya
“Bagaimanakah caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?” sambung orang awam itu; penuh hasrat dalam ketidaktahuannya.
“Mudah saja,” jawab filsuf itu, “ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu”.[1]
               



[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2009). Hlm. 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar