Bicara soal buah-buahan kita tidak
tahu siapa yang menanam dan siapa yang memetik. Yang kita tahu hanya menikmati
hasilnya saja. Apakah pernah terfikir oleh kita ketika memakan buah yang sedang
kita makan itu dari mana asalnya dan siapa yang menanamnya dan siapa pula yang
memetik buahnya lalu buah tersebut sampai di pasar tradisional maupun pasar
modern. Tapi kebanyakan orang bilang buah yang kita makan itu buah impor,
apakah di negeri ini sudah habis petaninya atau kurang subur tanahnya sehingga
buah-buahan itu orang luar negeri yang menanam dan memetiknya pula.
Bicara
mengenai menanam kita dapat menganalogikan kepada sebuah niat seseorang. Apabila
kita berada masih berada di sekolah atau di perguruan tinggi maka akan ada
ujian atau ulangan diakhir pembelajaran biasa disebut uas tapi yang paling
berkesan adalah Ujian Nasional bagi yang masih sekolah dan Skripsi bagi yang
kuliah. Dari tiap ujian yang kita inginkan adalah kelulusan, oleh karena itu
kita perlu menanamkan niat untuk belajar, usaha, dan berdo’a agar mendapat buah
yang manis, ialah buah kelulusan.
Tanaman
akan cepat tumbuh diatas tanah yang subur. Manusia kan dari tanah dan kembali
ke tanah. Bagaimana membuat “tanah” ini menjadi subur agar pohon yang ditanam
itu cepat berbuah. Untuk menjaga kesuburannya maka jagalah keseshatan kita baik
jasmani maupun rohani. Dalam bahasa latin Indonesia yaitu Mens sana in corpore sano, yang artinya adalah "Jiwa yang
sehat dalam tubuh yang sehat." Maksudnya jika jiwa seseorang sehat, maka
tubuhnya akan sehat juga. Begitu pula sebaliknya.
Dengan
tubuh yang sehat, seseorang pun dapat belajar dengan semangat. Proses belajar
adalah perjalanan memperoleh pengetahuan. Ada sebuah cerita, bertanyalah
seorang yang awam kepada ahli filsafat yang arif bijaksana, “coba sebutkan
kepada saya berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan
pengetahuannya!”
Filsuf itu menarik nafas panjang dan berpantun:
Ada
orang yang tahu di tahunya
Ada
orang yang tahu di tidaktahunya
Ada
orang yang tidak tahu di tahunya
Ada
orang yang tidak tahu di tidaktahunya
“Bagaimanakah caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang
benar?” sambung orang awam itu; penuh hasrat dalam ketidaktahuannya.
“Mudah saja,” jawab filsuf itu, “ketahuilah apa yang kau
tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu”.[1]
[1]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2009). Hlm. 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar